MAKALAH PKN
HUBUNGAN STRUKTURAL
DAN FUNGSIONAL PEMERINTAH PUSAN DAN DAERAH
Disampaikan sebagai tugas kelompok dan sebagai
pelengkap nilai pkn pada semester 2
Guru Pembimbing : Ibu Komala Dewi Sp.d
Disusun oleh:
Kelompok
1 :
1.
Diana Melinda
2. Meidita
Setya Pratiwi
3. Rona
Afwin Azhari
X.
Matematika Sains 3
Sekolah
Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Curup
Februari
2014
Kata
Pengantar
Puji
syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Pendidikan
Kewarganegaraan yang kami beri judul “ Hubungan structural dan
fungsional pemerintah pusat dan daerah “. Makalah
yang saya susun ini sengaja disusun untuk memenuhi kebutuhan dalam perolehan
nilai pada pelajaran PKnkelas X semester genap. Adapun isinya terdiri
dari hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di NKRI.
Kami
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan dapat memberikan dorongan bagi pembaca untuk menjaga
dan membantu hubungan antar pemerintah di NKRI yang kita cintai ini.
kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir
kata kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak dan sumber yang
telah membantu kami untuk menyusun makalah ini. Semoga Tuhan selalu
memberikan memberikan Negara kita menjadi Negara yang lebih baik dari
sebelumnya Amin.
Curup, 06
Februari 2014
Penulis
Hubungan Pemerintah
Pusat dan Daerah
Sejarah
konstitusi Indonesia mengalami pasang surut yang cukup panjang. Terjadi
tiga kali pergantian konstitusi mulai UUD 1945, UUD RIS, kemudian UUDS
1950. Sejak dirumuskannya pada tahun 1945 sampai tahun 1959,
masalah konstitusi menjadi salah satu fokus perdebatan antarkelompok
bangsa yang sampai satu titik-di forum Konstituante
(1956-1959)-sungguh menegangkan. Hal itu disebabkan saratnya nuansa
politik dan ideologis, yang bermuara pada kehendak memasukkan alam
pikiran ideologi dan politik ke dalam rumusan konstitusi. Walau
demikian, hal demikian tadi sebenarnya wajar dan realistik saja, melihat
kedudukan dan fungsi konstitusi yang demikian penting dalam kehidupan
bangsa dan penyelenggaraan negara. Pada masa pemerintahan Soeharto
(1966-1998) perdebatan konstitusi-ilmiah sekalipun-sulit dilakukan. Pemerintah
melakukan langkah-langkah sistematis yang pada akhirnya memposisikan UUD
1945 menjadi “kitab suci” negara yang tak boleh diutak-atik,
tabu dipertanyakan, dan haram diubah. Konstitusi yang dirumuskan
oleh tokoh-tokoh pendiri negara, menjadi barang “sakral”.
Istilah
“konstitusi” berasal dari bahasa Perancis Constituer dan Constitution,
kata pertama berarti membentuk, mendirikan atau menyusun, dan kata kedua
berarti susunan atau pranata (masyarakat). Dengan demikian konstitusi memiliki
arti; permulaan dari segala peraturan mengenai suatu Negara. Pada umumnya
langkah awal untuk mempelajari hukum tata negara dari suatu negara dimulai dari
konstitusi negara bersangkutan. Mempelajari konstitusi berarti juga mempelajari
hukum tata negara dari suatu negara, sehingga hukum tata negara disebut juga
dengan constitutional law. Istilah Constitutional Law di
Inggris menunjukkan arti yang sama dengan hukum tata negara. Penggunaan
istilah Constitutional Law didasarkan atas alasan bahwa
dalam hukum tata Negara unsur konstitusi lebih menonjol. Dengan demikian
suatu konstitusi memuat aturan atau sendi-sendi pokok yang bersifat fundamental
untuk menegakkan bangunan besar yang bernama “Negara”. Karena sifatnya yang
fundamental ini maka aturan ini harus kuat dan tidak boleh mudah berubah-ubah.
Dengan kata lain aturan fundamental itu harus tahan uji terhadap kemungkinan
untuk diubah-ubah berdasarkan kepentingan jangka pendek yang bersifat sesaat.
Perbincangan
tentang hubungan pemerintahan antara pusat dan daerah senantiasa selalu menjadi
perdebatan panjang dinegara manapun didunia ini, baik pada negara-negara yang
telah maju seperti Amerika Serikat dan Inggeris apalagi bagi negara yang baru
berkembang dan sedang berusaha mencari bentuk dan bereksprimen tentang
bentuk hubungan yang serasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat
seperti Republik Indonesia ini.
Bentuk
perdebatan tentang hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah tersebut selalu tidak lepas dari cara-cara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam berbagi wewenang dan kekuasaan. Dalam literatur tentang
pemerintahan sebenarnya hanya dikenal 2 cara yang menghubungkan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu cara pertama dikenal dengan
istilah “sentralisasi”, dimana segala urusan, tugas, fungsi dan wewenang
penyelenggaraan pemerintahan ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya
dilakukan secara dekonsentrasi. Cara yang lain adalah dengan “desentralisasi”
yang berkonotasi sebaliknya yaitu urusan, tugas dan wewenang pelaksanan
pemerintahan diserahkan seluas-luasnya kepada daerah.
Permasalahan
yang dihadapi Indonesia adalah tidak jelasnya pilihan yang dijatuhkan antara
sentralisasi atau desentralisasi yang lebih dominan agar supaya secara
konsisten prinsip tersebut dapat diterapkan. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945
beserta penjelasannya yang menjadi landasan konstitusional bagi penyelenggaran
pemerintahan di daerah juga tidak memberikan petunjuk jelas azas mana yang
dipilih.
Dari
hasil pembicaraan para pendiri bangsa dalam sidang-sidang BPUPKI nampaknya para
pendiri bangsa lebih menyerahkan aspek teknis penyelengaraan pemerintahan
ini kepada rezim yang berkuasa, seperti yang terungkap dalam pidato Soepomo
pada sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 “Sebagaimana telah diuraikan oleh yang
terhormat tuan Moh. Hatta, serta dalam negara itu soal sentralisasi atau
desentralisasi pemerintahan tergantung dari pada masa, tempat dan soal
bersangkutan”
Bercermin
dari perkembangan historis tersebut, nampaknya sudah menjadi tugas setiap
pemerintahan baru untuk merancang bentuk-bentuk hubungan yang serasi antara
pusat dan daerah di Indonesia dan hal ini tentu saja membawa dampak negatif
berubah-ubahnya kebijakan tentang sentralisasi dan desentralisasi pemerintahan
sesuai dengan kemauan politik dan niat baik pemerintah pusat. Urusan-urusan
Pemerintahan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah dapat diperluas atau
dipersempit tergantung pada perkembangan politik dengan mempertimbangkan
kepentingan nasional dan kebijakan Pemerintah Pusat yang notabene tidak sejalan
dengan makna otonomi yang diharapkan.
Menurut
Asep Nurjaman (Guruh, Syahda, LS : 85 : 2000) ada beberapa
alternatif bagaimana hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dibangun, yaitu :
- Hubungan
pemerintah pusat dan daerah dibangun dengan memberikan kekuasaan yang
besar kepada pusat (hightly centralized)
- Hubungan
pemerintah pusat dan daerah dibangun dengan cara memberikan kewenangan
yang besar kepada daerah (highly decentralized) atau dikenal dengan nama
confederal system.
- Hubungan pusat
dan daerah berdasarkan “sharing” antara pusat dan daerah. Sistem, ini
disebut sistem federal (federal System) yang banyak diadopsi oleh
negara-negara besar dengan fluralisme etnik, seperti Amerika Serikat,
Kanada, India dan Australia.
Pendapat
lain dari Dennis Kavanagh (Mutty, M. Luthfi : 4 : 1997) membagi
model hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dari sudut
kedudukan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, sebagai berikut :
- Agency Model
(Model Pelaksana)
Dalam
model ini, Pemerintah Daerah semata-mata dianggap sebagai pelaksana oleh
pemerintah pusat, ciri pokoknya menurut Dennis Kavanagh adalah :
“….Central
government has the power to create or abolish local government bodies and
their powers. In this model, the national framework of a policy is estabilished
centrally and local authorities carry it out, with littlescope for discreation
or variation”
Dengan
model wewenang yang dimiliki pemerintah daerah sangat terbatas. Seluruh
kebijakan ditetapkan oleh pemerintah pusat tanpa perlu mengikut sertakan
pemerintah daerah dalam perumusannya. Pemerintah daerah berkewajiban
melaksanakan kebijakan pusat dengan keleluasaan yang sangat kecil dan tanpa hak
untuk berbeda. Dengan mempergunakan model ini pemerintah pusat
sewaktu-waktu dapat memperluas dan mempersempit wewenang yang dimiliki oleh
daerah atau lebih jauh lagi dapat mencabut hak dan kewajiban daerah dengan
membubarkannya.
2. Partnership Model
(model mitra)
Berbeda
dengan model pertama, maka model kedua ini menekankan pada adanya kebebasan
yang luas kepada pemerintah daerah untuk melakukan “Local Choice”. Beberapa
ciri pokok model ini adalah :
“Local
government has its own political legitimacy, finance (from rates and service),
Resources, and even legal powers, and the balance of power between the center
and locality fluctuates according to the contexs, there is too much variation
in local services to sustain the agency model, even though local authorities
are clearly subordinate in the partnership”
dalam
model mitra ini pemerintah daerah tidak semata-mata dipandang sebagai pelaksana
melainkan oleh pemerintah pusat telah dianggap sebagai partner atau sebagai
mitra kerja yang memiliki independensi bagi penentuan berbagai pilihan sendiri
yang walaupun pemerintah daerah tetap dalam posisii subordinatif terhadap pemerintah
pusat namun pemerintah daerah diakui memiliki legitimasi politik
tersendiri.
Dengan
berpedoman pada kedua model tersebut, nampaknya Undang-Undang Pemerintah Daerah
di Indonesia, baik Undang-Undang Nomor 5/1974 maupun Undang-Undang Nomor
22/1999 tidak memisahkan secara jelas dan tegas model mana yang pilih. Baik
model Agency maupun model partnership terdapat dikedua Undang-Undang tersebut
hanya saja berbeda pada aspek intensitasnya, dimana jika Undang-Undang Nomor
5/1974 lebih cenderung mempergunakan model Agency maka Undang-Undang Nomor
22/1999 cenderung melakukan pendekatan dengan model Partnership.
Tim
peneliti Fisipol-UGM dan Departemen dalam negeri (Miftha Thoha,: 1985
:1986)menyarankan kepada Departemen Dalam negeri untuk membagi daerah kabupaten
dan kota atas 4 (empat) klasifikasi, dimana berdasarkan klasifikasi tersebut
ditentukan pola hubungan fungsional antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Hubungan fungsi yang oleh Tim Peneliti Fisipol-UGM dan Departemen dalam
negeri diberi nama hubungan yang situasional adalah dengan mengadopsi pendapat
dari Paul Hersey dan Kenneth Blanchard.
Pengembangan
hubungan antara pusat dan daerah yang bersifat situasional ini didasarkan pada
anggapan dasar bahwa setiap daerah memiliki tinghkatan yang berbeda-beda dalam
hal kemampuan keuangan, kemampuan aparatur, kondisi demografi, potensi ekonomi,
PDRB, kemampuan partisipasi masyarakat dan kemampuan administrasi dan
organisasi. Berdasarkan atas adanya perbedaan tersebut maka daerah kabupaten
dan kota dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
- Kabupaten/kota
yang tergolong mampu melaksanakan urusan otonominya.
- Kabupaten/kota
yang mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.
- Kabupaten/kota
yang sedikit mampu melaksanakan urusan otonomi.
- Kabupaten/kota
yang tidak/kurang mampu melaksanakan urusan otonominya
Kondisi
daerah yang pada hakekatnya memang berbeda-beda tersebut kemudian juga harus
diberikan perlakuan (Treatment) yang juga berbeda dengan maksud untuk
memaksimalkan kemampuan daerah dalam mengurus urusan otonomi , maka kemudian
dikembangkan 4 (empat) pola hubungan yang seyogyanya dipergunakan , yaitu :
- pola tata
hubungan instruktif
- pola tata
hubungan konsultatif
- pola tata
hubungan partisipatif
- pola tata
hubungan delegatif
Pola-pola
hubungan tersebut menunjukan adanya kaitan antara dukungan dan pengarahan yang
diberikan oleh pemerintah pusat. Dukungan menunjukan sampai dimana bantuan, dan
dorongan yang diberikan untuk mendukung terlaksananya urusan otonomi
daerah sedangkan pengarahan menunjukan sampai dimana ikut campur, interpensi,
atau keterlibatan pemerintah pusat terhadap pelaksanaan otonomi daerah,
pengarahan pemerintah pusat ini lebih dikaitkan dengan sampai dimana
kematangan, kedewasaan atau kemampuan daerah dalam melaksanakan urusan
otonominya.
Memberikan
dukungan berarti mendorong daerah untuk meningkatkan kemampuannya pada
tingkatan yang lebih tinggi, sehingga perbedaan antara keempat tata hubungan
tersebut sebenarnya bersifat gradatif antara pengarahan yang dilakukan oleh
pemerintah pusat dengan kematangan dan kemandirian yang dimiliki oleh
pemerintah daerah . bentuk-bentuk Pola hubungan tersebut dapat diperinci sbb :
- pola tata
hubungan instruktif
Pada
pola ini pengarahan lebih lebih banyak dilakukan oleh pemerintah pusat daripada
kemandirian pemerintah daerah.
2. pola tata hubungan
konsultatif
pada
pola ini pengarahan (campur tangan) dari pemerintah pusat telah mulai
berkurang karena kemampuan pemerintah daearh telah mulai meningkat.
3. pola tata hubungan
partisipatif
dengan
pola ini pemengarahan dari pemerintah pusat telah lebih banyak lagi
dikurangi mengingat kemampuan pemerintah daerah yang telah tinggi
4. pola tata hubungan
delegatif
pada
pola tingkatan ini pemerintah pusat telah jauh mengurangi atau bahkan telah
mentiadakan campur tangannya dalam mengurus otonominya.
Kelebihan
dari pola hubungan situasional ini adalah pada daerah-daerah yang kurang mampu
melaksanakan otonomi daerah tidak dilakukan penghapusan atau penggabungan
tetapi dilakukan dengan memberikan kombinasi antara dorongan dan
pengarahan hingga daerah yang tidak mampu berangsur-angsur menjadi mampu
namun secara teknis pola hubungan situasional ini cukup sulit untuk di
implementasikan.
Pola
hubungan pusat dan daerah yang lain dikemukakan oleh John Haligan dan Chris
Aulich (1998) yang membangun 2 model pemerintahan daerah atas :
- The Local
Democracy model
Model
ini lebih menekankankan pada nilai-nilai demokrasi dan pengembangan
nilai-nilai lokal untuk pengembangan efesensi pelayanan. Model ini menurut
Danny Burn. Dkk 1994 (Bhennyamin Hoessin : 1999 : 9) dibangun berdasarkan pada
teori politik.
2. The Struktural
efficiency model
Model
ini lebih menekankan pada efesensi pendistribusian pelayanan kepada masyarakat
lokal yang Danny Burn. Dkk 1994 (Bhennyamin Hoessin : 1999 : 9) dibangun
berdasarkan pada teori manajemen
Pilihan
terhadap model hubungan antara pusat dan daerah tersebut membawa
konsekwensi-konsekwensi yang berbeda pada hubungan antara pemerintah daerah
dengan pemerintah pusat. Model Demokrasi yang menekankan pada pengembangan
nilai-nilai lokal membawa kecenderungan pada penghargaan pada perbedaan
nilai-nilai lokal dan perbedaan sistem pemerintahan kekuasaan yang dimiliki
daerah berasal dari masyarakat daerah itu sendiri. Sedangkan pilihan pada model
struktural akan membawa kecenderungan sebaliknya yaitu intervensi dan campur
tangan pemerintah pusat pada pemerintah lokal untuk mengontrol pemerintah
daerah dengan maksud agar tercapai efeseinsi pembangunan. Pemilihan model
efeseinsi ini menurut A.F. Leemans (E.Koswara : 1999: 5 ) mempunyai
kecenderungan – kecenderungan sbb :
- kecenderungan
untuk memangkas jumlah susunan daerah otonom
- kecenderungan
untuk mengorbankan demokrasi dengan cara membatasi peran dan partisipasi
lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai lembaga penentu kebijakan dan
lembaga kontrol di daerah
- kecenderungan
pusat untuk tidak menyerahkan kewenanagan atau discretion yang lebih besar
kepada daerah otonom
- kecenderungan
untuk mengutamakan dekonsentrasi daripada desentralisasi
- terjadi semacam
paradok disatu sisi efesensi memerlukan wilayah yang lebih luas hingga SDA
dan SDM lebih banyak tetapi disisi lain berpotensi menjadi gerakan
separatisme yang mengarah pada disintegrasi.
Pengembangan
Model hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah lainnya dapat
diadopsi juga dari pendapat B.C. Smith ( dalam Faried Ali : 1999: 11) yang
membagi berbagai model desentralisasi atas 3 model, yaitu :
- Model
Development
Desentralisasi
dengan model pembangunan ini melahirkan sejumlah otonomi daerah pada negara-negara
yang sedang berkembang dimana pengaruh kolonial masih sangat mewarnai sistem
penyelenggaraan pemerintahannya seperti institusi lokal yang diberi nama
pemerintahan kotapraja. Dengan model ini hubungan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah yang terjalin bersifat hubungan yang bercorak
sentralistis mengingat model pembangunan membutuhkan mobilisasi Sumberdaya alam
dan modal yang maksimal.
2. Model liberal
Model
liberal adalah model desentralisasi yang lebih berorientasii pada pada
dua fungsi utama, yaitu pelayanan dan partisipasi, sehingga format hubungan
antara pusat dan daerah yang terbentuk lebih cenderung pada bentuk
desentralisasi mengingat pelayanan damn partisipasi lebih prima dan efesein
apabila diserahkan pada daerah yang paling dekat dengan masyarakat yang
dilayani.
3. Model Komunis
Desentralisasi
dengan corak komunis ini adalah corak desentralisasi yang menekankan pada
ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.
Indonesia
adalah suatu negara kepulauan yang terdiri atas kurang lebih 13.000 pulau yang
terbentang dari barat ke timur sepanjang lebih lebih dari 5.000 Km melintasi
tiga zona waktu menyebabkan Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di
dunia. Bangsa Indonesia juga bukan merupakan bangsa keturunan penduduk
asli Indonesia tetapi merupakan keturunan migran Austronesia sekitar 5.500
tahun yang lalu. Kondisi ekologi dan isolasi geografis menyebabkan mereka
memiliki sistem dan lingkungan kebudayaan masing-masing yang sangat jauh berbeda
satu dengan yang lainnya. bangsa Indonesia pada hakekatnya tidak memiliki
budaya nasional yang padu dan utuh tetapi hanya berupa “keping-keping”
kebudayaan daerah yang akui sebagai budaya nasional.
Komoditas-komoditas
lokal nenek moyang bangsa Indonesia tersebut kemudian membentuk model-model
pemerintahan kerajaan yang masing-masing berdiri sendiri secara independen
dengan sistem pemerintahan khas serta wilayah kerajaan sendiri yang jelas dan
tegas.
Kedatangan
Bangsa Eropa ke-kepulauan Indonesia dengan tujuan melakukan eksploitasi sumber
daya alam, penyebaran agama dan memperluas wilayah jajahan dengan cara menindas
dan menghilangkan indepedensi serta kemerdekaan kerajaan-kerajaan di Indonesia
kemudian menumbuhkan rasa senasib sepenanggungan kerajaan-kerajaan yang ada di
seluruh wilayah Indonesia hingga tercapainya kemerdekaan Indonesia pada 17
agustus 1945.
Dari
perjalanan sejarah tersebut jelaslah pilihan para pendiri bangsa untuk memberi
bentuk negara kesatuan lebih merupakan pilihan emosional daripada pilihan yang
berdasarkan pada kondisi objektif bangsa Indonesia. Disamping itu pengalaman
dengan negara federasi bentukan Belanda diawal-awal masa kemerdekaan
memperkokoh pandangan yang antipati terhadap bentuk negara federal. Disamping
itu dengan melihat tantangan perkembangan bangsa-bangsa di era mendatang yang
menuntut azas-azas demokratisasi, kualitas pelayanan, kesanggupan dan
fleksiblitas organisas pemerintah daerah dalam menghadapi tantangan lingkungan
maka bentuk pilihan hubungan pemerintahan pusat dan daerah yang terbaik adalah
bentuk negara federal, hanya saja perubahan bentuk negara dari berbentuk
kesatuan menjadi berbentuk federal tentu bukan perkerjaan mudah, seperti
membalik telapak tangan tetapi merupakan perubahan besar dan mendasar
yang menyangkut perubahan bentuk negara.
Perubahan
bentuk negara adalah perubahan konstitusi yang bukan hanya dapat menimbulkan
“luka” yang amat mendalam bagi para pendiri bangsa tetapi juga memerlukan
proses politik dan hukum yang mungkin saja akan melalui jalan yang teramat
sulit dan akan memakan waktu teramat panjang dan secara objektif suasana
psikologis bangsa Indonesia saat ini tidak memungkinkan membentuk negara
federal saat maka Jalan tengah yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah
memberikan otonomi luas dengan prinsip-prinsip yang sesuai dengan
Mencari
“jalan tengah” penerapan prinsip-prinsip otonomi negara federal di negara
kesatuan dapat ditempuh dengan berdasarkan pada aspek
philosofis prinsip otonomi negara federal yaitu bahwa kedaulatan yang dimiliki
oleh negara federal berasal dari kedaulatan milik negara bagian yang diberikan
kepada pemerintah pusat dan hal ini berbeda secara diametrik dengan dasar
philosofis negara kesatuan yang menganut paham bahwa kedaulatan didistribusikan
oleh pemerintah pusat kepada pemerintah-pemerintah daerah. Karena itu jika
prinsip-prinsip negara federal akan diterapkan pada otonomi di Indonesia maka
konsekwensinya adalah sbb :
- Otonomi yang
diperoleh oleh daerah bukan kewajiban tetapi hak daerah
- Kewenangan yang
dimiliki oleh daerah merupakan kewenangan luas, kecuali beberapa
kewenangan yang merupakan kewenangan yang bersifat umum.
- Kewenangan
pemerintah pusat merupakan kewenangan yang diberikan oleh daerah
- Kewenangan yang
dimiliki oleh daerah tidak dapat dikurangi, ditambah ataupun dihapuskan
oleh pemerintah pusat.
- Kewenangan yang
dimiliki pemerintah pusat terbatas sedangkan kewenangan pemerintah daerah
tidak
Dalam sidang-sidang BPUPKI konsep
federalisme dalam bentuk negara serikat di wacanakan oleh M. Hatta dengan
memulai argumentasinya bahwa dibentuknya negara serikat adalah sebagai
konsekwensi menempatkan otonomi pada setiap manusia yang kemudian meningkat
menjadi otonomi masyarakat dan seterusnya menjadi otonomi bangsa. Sedangkan
para penganut paham negara unitarisme dan integralistik dari negara dikemukakan
oleh Soepomo dan M. Yamin. Soepomo mempertahankan negara kesatuan berangkat
dari argumentasi riwayat hukum (rechtsgeschicte) dan lembaga sosial (socialee
structuur) bangsa Indonesia sejak dahulukala telah menganut bentuk kesatuan
sedangkan M. Yamin mempertahankan bentuk negara kesatuan berangkat dari
argumentasi agar bangsa Indonesia tidak dianggap remeh dalam pergaulan
internasional.
Perdebatan tentang negara kesatuan dan
federalisme dalam sidang-sidang BPUPKI tersebut berakhir dengan dipilihnya
bentuk negara kesatuan sebagai kehendak mayoritas para pendiri bangsa saat itu,
namun sebagai wacana permasalahan federal dan atau negara kesatuan tersebut
bersifat latent, sesekali muncul kepermukaan dan kemudian tenggelam dalam
kancah politik nasional.
Praktek penyelenggaraan pemerintahan
dalam bentuk negara federal ketika dibawah Republik Indonesia Serikat tahun
1948 sampai dengan 1950 menambah buruknya kesan wajah negara fedral di
Indonesia, distorsi bentuk negara federal dalam persepsi bangsa Indonesia oleh
karena terbentuknya negara Indonesia Serikat waktu itu ditujukan lebih banyak
dengan tujuan untuk memecah belah bangsa Indonesia.
Kemunculan kembali wacana negara
federal mengalami puncaknya setelah bangsa Indonesia mengalami perjalanan
panjang selama kurang lebih 39 (tiga puluh sembilan) tahun dibawah rezim orde
lama (1959-1965) dan rezim orde baru (1966-1998). Bentuk negara kesatuan
dianggap “mengecewakan” oleh sebagian besar daerah karena selama pemerintahan
kedua rezim tersebut dirasakan oleh daerah telah terjadi ketidak-adilan yang
sangat tajam dalam hubungan antara pusat dan daerah, baik dibidang politik,
ekonomi maupun sosial-budaya.
Dibidang politik, terjadi Indoktrinasi
Ideologi dan penyeragaman organisasi-organisasi massa dan kehidupan berbangsa
dan bernegara yang menuju pada uniformity (penyeragaman) dan bukan unity
(persatuan) sehingga yang terjadi adalah “pemaksaan” untuk bersatu dan bukan
kerelaan yang tumbuh secara wajar untuk menjadi kesatuan identitas bangsa.
Dibidang ekonomi kondisinya tidak jauh berbeda, seperti diungkapkan oleh St.
Sularsto dan T. Jakob Koekerts :
“Sekedar
Ilustrasi , Irian Jaya hanya mendapat 4 %, Kalimantan Timur mengkonsumsi hanya
1 % sedangkan Aceh hanya mendapat bagian ½ % dari seluruh pengasilan pengolahan
sumber daya lokal masing-masing dan selebihnya diangkut ke pusat ” (Federalisme
untuk Indonesia : xv : 1999)
Dibidang
Sosial Budaya, demikian juga terjadi pengikisan akar budaya masyarakat dengan
pemberlakuan struktur kehidupan masyarakat yang bersifat serba seragam telah
menghambat memunculnya kesatuan-kesatuan masyarakat local
PENUTUP
Demikian
makalah yang kami sampaikan, kami mengetahui bahwa masih banyak kekurangan pada
makalah ini maka kritik dan saran sangat membantu dalam pembangunan isi makalah
ini.
Terima
kasih kepada sumber-sumber yag telah memberikan rincian-rincian yang begitu
bermanfaat, dan terima kasih juga kepada pembaca karena telah membaca makalah
ini.
Mudah-mudahan
apa yang kami sampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua,
Soal
Latihan
1.
Berikut pola hubungan yang seyogyanya, kecuali …..
a.
Pola tata hubungan konsultatif
b.
Pola tata hubungan delegasi
c.
Pola tata hubungan instuktif
d.
Pola tata hubungan pastisipatif
e.
Pola tata hubungan delegatif
2.
Di bawah ini adalah pengelompokan
kewenangan pemerintah,kecuali….
a.
Kewenangan kepemimpinan
b.
Kewenangan pengawasan
c.
Kewenangan pengaturan
d.
Kewenangan pembinaan
e.
Kewenangan pengurusan
3.
Pembagian
darah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan
dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul
dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.pernyataan diatas
termasuk dalam Undang-Undang perubahan kedua tahun 2000 pasal ….….
a.
Pasal 18 bab V
b.
Pasal 19 bab V
c.
Pasal 17 bab VI
d.
Pasal 18 bab VI
e.
Pasal 18 bab VIII
5.
Ketidapasahan pemetintah daerah akan
kebijakan politik dan hokum pemerintah pusat seiring berlakunya…
a.
UU 23/2000
b.
UU 5/1974
c.
UU 22/1999
d.
UU 18/1965
e.
UU 22/1948
6.
Dimana segala urusan, tugas, fungsi dan
wewenang penyelenggaraan pemerintahan ada pada pemerintah pusat yang
pelaksanaannya dilakukan secara dekonsentrasi. Disebut….
a.
Konsentrasi
b.
Desentralisasi
c.
Sentralisasi
d.
Liberalisme
e.
Pusat
7.
Istilah “konstitusi” berasal dari
bahasa Perancis Constituer dan Constitution, kata
tersebut mengandung arti….
a.
Konstitusi
b.
Mendirikan
c.
Pembangunan
d.
Ideology
e.
Kontibusi
8.
The local Democracy model adal model
hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah menurut….
a.
Dennis Kavanagh
b.
B.C Smith
c.
Asep Nurjaman
d.
Mutty M Luthfi
e.
Danny Burn
9.
Perhatikan pernyataan berikut:
1. Kecendrungan untuk menangkis jumlah susunan
daerah otonom
2.
kecenderungan
untuk mengorbankan demokrasi dengan cara membatasi peran dan partisipasi
lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai lembaga penentu kebijakan dan lembaga
kontrol di daerah
3.
kecenderungan
pusat untuk tidak menyerahkan kewenanagan atau discretion yang lebih besar
kepada daerah otonom
4.
kecenderungan
untuk mengutamakan dekonsentrasi daripada desentralisasi
5.
terjadi
semacam paradok disatu sisi efesensi memerlukan wilayah yang lebih luas hingga
SDA dan SDM lebih banyak tetapi disisi lain berpotensi menjadi gerakan
separatisme yang mengarah pada disintegrasi.
Dari pernyataan
diatas pemilihan model efesensi diatas adalah menurut….
a.
A.F. Leemans
b. Danny Burn
c.
B.C Smith
d. John Haligan
e. Moh. Hatta
10.
Moh.
Hatta telah membahas tentang model sentralisasi dan desentralisasi, kapankan
Moh. Hatta mengatakannya….
a.
Sidang BPUPKI
b. Sidang PPKI
c. Siding panitia
Sembilan
d. Konferensi Meja
Bundar
e. Rapat negara
11. Berikut
yang termasuk model-model hubungan pemeritah pusa dan pemerintah daerah menurut
B.C Smith adalah…..
a.
Model Pelaksana
b.
Model mitra
c.
Model liberal
d.
Model persatuan
e.
Model kesatuan
12.
Pasal-pasal yang mengatur tentang
hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah, kecuali….
a.
Pasal 18
b.
Pasal 18 setelah perubahan
c.
Pasal 18 A
d.
Pasal 18 B
e.
Pasal 7
13.
0 komentar:
Posting Komentar